Wartawan Samsul (kiri) saat ditemani seorang warga adat Kajang (kanan) |
Jika adat itu dilanggar maka sudah pasti yang melanggar mendapat hukuman adat. Jenis hukumannya pun tergantung berat ringan pelanggarannya, ada yang berupa teguran keras, pembayaran denda, dan pencabutan hak adat.
Dalam adat Bugis Makassar dikenal istilah Tudang Sipulung (duduk bersama, red) dalam menyelesaikan sebuah permasalahan. Di dalamnya dikenal istilah “Sipakatau, Sipakainge, Sipakalebbi"`yang memiliki makna saling memanusiakan, saling memuliakan, dan saling mengingatkan. Dan jika tidak mampu melakukannya berarti orang tersebut disebut enna namakkiade (bahasa Bugis, artinya tidak beradat), serta masih ada istilah lainnya.
Khusus adat Kajang di kabupaten Bulukumba Sulawesi Selatan, memiliki hukum adat tidak tertulis yang berlaku secara turun temurun hingga saat ini bagi komunitas masyarakat adat Kajang. Kawasan adat Kajang meliputi lima wilayah kecamatan yakni kecamatan Kajang, Herlan, Ujung Loe, Bulukumpa, dan satu kecamatan di kabupaten Sinjai yaitu kecamatan Tellulimpoe.
Terkait adat Kajang tersebut, seorang warga Ajubittie RW 001/RT 002 Dusun Bonto Kunyit Desa Erabaru kecamatan Tellulimpoe kabupaten Sinjai, sebut saja dengan inisial Pd, yang terancam disanksi hukum adat lantaran menetapkan jumlah Uang Panai (Uang belanja perkawinan, red) yang jumlahnya lebih rendah atas lamaran seorang pria terhadap anak kandungnya, dibandingkan jumlah Uang Panai yang ditetapkan sebelumnya terhadap lamaran seorang pria terhadap keponakannya.
Disebutkan, besaran Uang Panai saat keponakan perempuannya yang tamatan SMA hendak menikah pada tahun 2014 ditetapkan oleh Pd sebesar Rp 50 juta tidak termasuk mas kawin dan biaya lainnya yakni uang pembeli sapi, uang sepupu, uang orang tua, uang baku puli, jatah pemilik kampung, dan uang biaya nikah.
Sedangkan pada tahun 2018 saat hendak menikahkan anak kandung perempuannya sendiri yang sarjana, Pd justru menetapkan besaran Uang Panai-nya yakni hanya sebesar Rp. 45 juta tidak termasuk mas kawin dan biaya sejenis lainnya, lebih rendah Rp 5 juta dari ketetapannya pada tahun 2014 sebelumnya saat menerima lamaran nikah terhadap keponakan perempuannya.
Menurut adat setempat, selisih Rp 5 juta lebih rendah inilah yang memberikan hak adat kepada pria yang menikah pada tahun 2014 itu, sebut saja dengan inisial S, untuk mengajukan protes dan mempertanyakan kenapa Uang Panai-nya pada tahun 2018 lebih rendah dari Uang Panai-nya pada tahun 2014.
"Seharusnya lebih tinggi, apalagi perempuannya berstatus sarjana, anak kandung lagi, ada apa," kata S.
Lantaran ihwal itulah S kemudian mempertanyakannya ke Ammatoa.
Wartawan komandoplus.com yang menemui sesepuh adat Kajang di Bulukumba yakni Ammatoa di Kajang mendapat keterangan bahwa apa yang dilakukan oleh Pd itu adalah bukan adat Kajang. Dan jika Pd adalah bagian dari komunitas masyarakat adat Kajang, maka Pd termasuk telah melanggar hukum adat setempat.
Menurut Ammatoa, apa yang dilakukan oleh Pd itu adalah menyalahi ketentuan adat Kajang.
"Dia (Pd, maksudnya, red) turunkan derajatnya sendiri. Karena apa yang dilakukannya itu tidak sesuai dengan hukum adat dan tradisi yang berlaku di sini, karena itu mempengaruhi tatacara adat yang mencederai nama adat Kajang," kata Ammatoa.
Ammatoa bermaksud memanggil Pd untuk mengklarifikasi hal itu. Dan jika telah dipanggil oleh sesepuh adat kemudian yang dipanggil tidak datang memenuhi panggilan itu maka yang terpanggil beserta seluruh warga masyarakat di desa tempat tinggalnya terancam akan kehilangan hak adat sebagai sanksi adat yang ditimpakan. (*)
Laporan: Sambar.
Editor: Iskandar.
____________________
Alamat Redaksi: Jl. Lanto Dg. Pasewang No. 14 Telp. (0411) 854127 - 854424 Hotline 085395591962 - 081342377788 - 085255426133 Makassar Sulsel. Pem Red/Pen Jab: Andi Iskandar. WA App. Android: 085395591962. Web: http://www.komandoplus.com/ Email: redaksikomandonews@gmail.com Wartawan media online komandoplus.com dalam menjalankan tugas dibekali kartu pers yang masih berlaku.
0 komentar:
Speak up your mind
Tell us what you're thinking... !